Kamis, 22 Juni 2017

SEPENGGAL KISAH DARI RUANGAN GELAP



Berawal dari iseng-iseng ikut mendaftar SM3T. Sebenarnya saya tidak begitu tau seluk beluk SM3T itu. Setelah mendaftar baru cari info apa itu SM3T dengan tanya ke teman, kakak angkatan serta browsing di internet. Mendengar cerita dan baca informasi tentang guru diperbatasan, saya jadi benar-benar tertarik untuk ikut mengabdikan diri mendidik anak bangsa yang berada di pelosok negeri.
            Tahapan-tahapan seleksi bisa saya lalui hingga akhirnya diumumkan saya diterima menjadi salah satu peserta SM3T Angkatan VI di Universitas Negeri Yogyakarta. Saya langsung informasikan ke bapak ibu dan sahabat. Bayangan saya, mereka akan ada yang sedih, terharu bahkan menangis karena saya akan pergi jauh. Tapi ternyata malah saya yang sedih karena mereka tidak ada satupun yang sedih, mereka malah bilang “gakpapa hanya 1 tahun, tidak lama kok”. Kan harusnya saya yang bilang itu jika mereka sedih. Eh ini malah terbalik.
            Singkatnya saya mendapat tempat di Kabupaten Malaka Propinsi Nusa Tenggara Timur. Begitu tahu di Malaka saya langsung tanya mbah Google tentang seluk beluk malaka. yang muncul banyak malah Selat Malaka dan Malaisia. Sedangkan kabupaten malaka hanya sedikit. Masih cari-cari akhirnya dapat bahwa Kabupaten Malaka baru terbentuk 2014 lalu. Kabupaten ini pemekaran dari Kabupaten Belu yang merupakan perbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Ternyata SM3T angkatan kami ini adalah angkatan pertama yang ditempatkan di Malaka. Jadi kami benar-benar buta tentang Kabupaten malaka ini.


            (foto bersama di Bukit Cinta, kecamatan Kobalima Timur, Malaka, NTT)
            Kami berangkat ke Malaka tanggal 4 September dari bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Rombongan kami terpecah menjadi 2 kelompok keberangkatan. Sebagian menempuh rute Yogyakarta-Denpasar-Maumere-Kupang.
            Selama di pesawat saya mulai melamun.
“Malaka NTT ya?”
“Hmmmmmmmm”
“Indonesia bagian timur kan kebanyakan non Muslim dan masih banyak binatang liar.”
“pasti tiap hari bisa makan daging rusa, babi, ular, buaya dan bianatang binatang liar lainnya”
“Pasti enak ini!”
Membayangkan itu semua saya senyum senyum sendiri di pesawat. Lamunan berakhir saat pesawat sudah sampai di Kupang. Kami sampai sekitar jam 3 sore. Kami semua sudah ditunggu mobil rental yang siap mengantar kami ke kabupaten yang berpatasan langsung dengan Timor Leste itu. Perjalanan menuju Malaka cukup jauh.
Kami sampai di kota malaka sekitar jam 2 pagi. Kami beristirahat di Hotel. Pagi datang lebih awal, jam 5 pagi sang surya sudah membangunkan kami untuk segera bersiap melihat keramaian kota perbatasan ini. Keluar dari hotel kami cari sarapan dengan berjalan kaki. Lihat disekitar terlihat kota ini tak seramai kota kabupaten di jawa. Ini lebih mirip kota kecamatan jika dibandingkan dengan yang di Jawa sana.
Pukul 10 pagi kami ada pertemuan dengan Kepala Dinas PKPO untuk berkoordinasi sebelum pertemuan dengan Bupati. Di kantornya ini kami dikenalkan tentang jajarannya serta mengenalkan keadaan di kabupaten yang baru mekar 2 tahun ini. Tepat jam 1 kami bertemu dengan Bupati beserta Wakil untuk serah terima peserta SM3T dari Kemendikbud dan UNY kepada Pemerintah Kabupaten malaka. Kantor Bupati malaka masih meminjam ruangan RS Waibua karena belum memiliki gedung pemerintahan sendiri.
Selesai serah terima, langsung dibacakan satu persatu namanya beserta sekolah yang akan kami tempati. Satu sekolah hanya ada satu peserta SM3T. Selesai dibacakan, kepala sekolah sudah mencari kami untuk diajak pulang ke rumahnya. Saya mendapatkan tempat di SDK Banheni, Kecamatan Rinhat. Kepala sekolah bernama bapak Lambertus Asa, beliau akan menjadi orang tua asuh saya selama dipenempatan. Begitu bertemu dengan bapak Lamber (sapaan bapak Lambertus Asa) saya langsung diajak pulang. Kami pulang dengan menyewa oto (alat transportasi disini sejenis mobil bak terbuka). Perjalanan ke rumah memakan waktu 1,5 jam karena jalan masih sangat rusak. Banyak jalan aspal yang berlubang serta lebih banyak lagi jalan yang tidak beraspal, masih tanah dan batu lepas. Selama perjalanan saya sering lihat semak belukar di kiri kanan jalan. Kembali muncul lamunan saya saat dipesawat. Benar ini masih banyak hutan, pasti sering berburu dan makan daging.
Sampai di rumah saya disambut dengan istri bapak lamber. Saya langsung lihat hp ternyata hanya ada tulisan Panggilan Darurat. Lihat disekeliling rumah tidak tampak tiang listrik atau kabel kabel yang melintang. Dalam hati berkata “ini kah keadaan di perbatasan? Bagai bumi dan langit saat dibandingkan dengan di Jawa”. Saya bersalaman dengan mama. Mereka hanya tinggal berdua di rumah sederhana ini, kadang dengan cucunya yang masih kecil. Anak bapak mama semua di kota karena sudah berkeluarga. Rumah sederhana ini berdindingkan bebak (pelepah pohon sagu). Di rumah ini kami mulai mengobrol. Saya lebih banyak diam karena masih baru jadi belum bisa menemukan topik pembicaraan. Bapak cerita katanya beliau ditelpn dinas kalau dapat peserta SM3T tapi berjenis kelampin perempuan. Mendengar kabar itu  mereka mulai bingung harus bagaimana menghadapi anak perempuan dari jawa. Setelah tau kalau dapat saya, mereka semua merasa senang sekali. Selain karena tidak harus ribet mengurus perempuan. Bapak dan mama juga suka saya karena anak mereka 3 orang perempuan semua. Ada 1 laki laki tapi sekolah di kota sekarang masih SMP.

Saat makan malam, kami makan dengan ikan. Tapi yang makan hanya saya sendiri sedangkan bapak tidak. Terus mama bilang “bapak tidak biasa makan daging, dia hanya makan sayur”. Mendengar itu saya terdiam sejenak dan bicara dalam hati
“Jadi bapak vegetarian?”
“terus lamunan saya sata dipesawat dan di oto sia sia?”
Saya cepat cepat sadar dan melanjutkan makan tanpa menanggapi perkataan mama tadi. Selesai makan saya langsung istirahat di kamar. Kamar sudah benar benar dipersiapkan dengan sangat rapi. Saya terharu karena mereka begitu menyiapkan kedatangan saya. Berbaring di kasur, saya misih tidak percaya kalau disini ada yang vegetarian. Bayangan daging daging yang dikepala terasa mulai menjauh. Sehari hari bukan daging tapi malah daun ubi, daun pepaya, buah pepaya dan bunga pepaya. Itu menu andalan disini.
Pagi hari saya bangun langsung disuruh mandi. Disini mandi airnya tidak di bak tapi di ember. Sekali mandi itu 2 jirgen air yang isinya 5 liter. Cukup tidak cukup hanya itu. Maklum saja karena ini daerah gunung dan saat ini masih musim kemarau. Selesai bersiap siap dan sarapan kami berangkat ke sekolah. Di sekolah kami sudah disambut oleh guru yang ramah ramah. Siswa disini cukup banyak. Menurut data ada 193 siswa. Setelah perkenalan selesai, kami mulai pembagian tugas mengajar untuk saya. Saya dapat mengajar matematika kels VI dan kelas V A, B.
Sekolah ini sudah cukup bagus kalau dilihat dari gedung. Karena semua gedung sudah tembok dan lantai keramik. Meja kursi juga cukup dan masih bagus. Yang kurang adalah bahan ajar dan bahan bacaan. Belum ada perpustakaan serta tidak ada buku pegangan siswa. Siswa dapat ilmu hanya dari guru dan catatan di papan tulis. Itulah sebabnya masih banyak siswa yang belum bisa membaca bahkan ada kelas V yang belum bisa baca. Mereka sulit membaca karena mereka sangat jarang melihat tulisan. Mereka melihat tulisan hanya dari papan tulis saat guru mengajar, itupun terbatas kosa katanya. Selain persoalan membaca, siswa juga banyak yang belum mampu berhitung dengan baik.
Kalau membaca belum bisa maka mengajar mata pelajaran lain akan sangat sulit. Saya sendiri mendapat tugas mengajar matematika. Jadi lebih banyak mengajarkan berhitung daripada membaca. Siswa kelas lima dan eman banyak yang belum lancar penjumlahan dan pengurangan apalagi perkalian. Jadi saya mengajarkan hal dasar dengan benda seadanya. Siswa sering saya suruh bawa batu, daun atau lidi untuk belajar matematika. Beberapa bulan kemudian mereka mulai bisa menguasai penjumlahan pengurangan dan mulai perkalian. Kalau ada kelas kosong kadang saya masuk untuk mengajarkan mereka tentang membaca, tapi itu sangat terbatas waktunya jadi masih ada siswa kelas lima yang belum bisa membaca.
Masyarakat disekitar sini sangat ramah terhadap saya. Walaupun saya orang baru, mereka tidak merasa takut atau apatis. Mereka malah welcome sekali. Selama musim panas hampir tiap hari saya ambil air untuk mama memasak dan untuk mandi di sumber yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumah dengan jalan naik turun. Saya biasa pake motor untuk ambil air. Motor diparkir pinggir jalan dan mulai menelusuri jalan setapak sejauh 100 meter menuju mata air. Biasanya saya bawa 22 jirgen air. Sampai di mata air ada warga sekitar yang ambil air juga, ada yang mandi atau mencuci baju. Ini merupakan mata air paling besar dan satu satunya yang masih bertahan airnya saat musim kemarau. Begitu saya sampai di mata air. Anak anak langsung membantu menimba air untuk memenuhi jirgen saya ini. Saya mulai terenyuh, anak-anak ini sudah bawa jirgen sendiri masih mau membantu saya untuk mengisinya walau tanpa saya suruh. Sungguh mulia mereka. Begitu penuh semua jirgen, saya tidak perlu repot repot membawa 20 jirgen itu ke pinggir jalan. Mereka semua dengan semangat mengantarkan jergen itu. Ilmumu memang tak seberapa nak tapi rasa mengabdi kepada gurumu sangat luar biasa.

(foto siswa membantu ambil air)
Dua minggu disini saya mulai merasakan jenuh dan berat dengan keadaan tanpa listrik, sinyal bahkan air ini. Tapi teringat kata Kepala Dinas bahwa “disana orang yang tidak mengenyam pendidikan saja bisa hidup masak kalian yang menyandang gelar sarjana tidak bisa hidup?” disitu saya mulai buang jauh jauh keluhan soal tempat ini. Sebulan disini akhirnya saya mulai terbiasa. Ternyata tanpa listrik, sinyal dan susah air juga masih bisa hidup.
Saya suka disini karena bisa banyak mendapat pengalaman dan bisa membantu orang lain. Dari dulu saya punya prinsip “saya suka menjadi orang bermanfaat bukan dimanfaatkan”. Disekolah guru-guru sering bertanya bagaimana keadaan di jawa apakah sama seperti ini atau tidak. Saya hanya bisa menjawab tidak jauh berbeda dengan disini bu pak.
Rasa ingin tau guru disini sangat tinggi. Misalnya mereka sebenarnya punya laptop tapi belum bisa menggunakan secara maksimal bahkan jarang digunakan. Saat saya beritahu beberapa menu di MS Word dan MS Xcel mereka sangat senang sekali dan ingin belajar banyak. Akhirnya saya mengadakan pelatihan komputer untuk para guru.
Pelatihan komputer ini sangat bermanfaat dirasakan oleh guru-guru saat akan diadakan akreditasi sekolah. Yang biasanya semua administrasi ditulis tangan, sekarang bisa diketik dan di print. Walau print harus menghidupkan ganset dulu agar listrik bisa menyala dan itu biaya cukup besar untuk membeli bahan bakarnya.
Budaya disini sangatlah dijaga dan penuh makna. Disini kalau mengobrol tidak boleh membelakangi orang lain. Jadi duduk atau berdiri ya melingkar. Ini menanamkan bahwa kita semua sama, tidak ada bedanya. Acara adat dan makan adat juga harus duduk melingkar dan tidak boleh ada yang makan di belakangnya orang lain.
Ingat lagu “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan kayu jadi tanaman”? disinilah tanah surga itu. Di tempat ini kita tancapkan tongkat dan kayu kedalam tanah saja akan tumbuh rindang. Orang disini buat pagar rumah atau kebun hanya dengan tongkat dan kayu. Kayu gamal dan kayu ende namanya. Cukup dengan memotong batang kayu gamal terus diruncingkan bagian bawah kemudian ditancapkan ke tanah secara berjajar maka jadilah pagar. Beberapa minggu kemudian batang itu akan tumbuh akar dan daun baru. Memang Tuhan ini maha adil. Walau indonesia bagian tiur ini terkenal panas dan gersang tapi tongkat dan kayu ditanam saja bisa tumbuh. Bangga punya alam seperti ini.

(foto saat siswa, guru dan orang tua siswa memperbaiki pagar sekolah)
Orang disini kebanyakan mata pencahariannya hanya berkebun, pendidikannya rendah tapi mereka masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat, sopan santun, gotong royong. Kata kata yang sering saya dengar dari mereka adalah “Kami disini pak, kami belum merdeka” kami belum melihat sinar lampu ada di dalam rumah kami ini” entah kapan kami merdeka”. Mendengar kata kata itu saya hanya bisa menjawab sabar om, sebentar lagi pasti akan ada listrik disini. Karena pemerintah sedang berusaha membangun pembangkit listrik untuk menerangi seluruh indonesia. Mereka pun berkata lagi “besok kalau pak guru sudah pulang, tolong kasih tau pak Jokowi kalau kami juga ingin merasakan tidur ditemani cahaya lampu”.
#sm3tuny #sm3t_uny #sm3tMalaka #sm3tangkatanVI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar